Urgensi Dukungan Fiskal Untuk Kabupaten Konservasi
Oleh : Dr. Mahpud Sujai Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat baru saja selesai melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda) tahun 2022 sebagai dasar dan landasan bagi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2023. Musrenbangda tersebut telah menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain prioritas utama untuk program kerja tahun depan adalah penguatan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur publik. Prioritas tersebut sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.
Kabupaten Lampung Barat memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Provinsi Lampung. Karakteristik wilayah yang sebagian besar didominasi oleh pegunungan dengan kemiringan lereng yang cukup curam serta tutupan hutan yang cukup lebat menyebabkan Kabupaten Lampung Barat memiliki kendala yang cukup menantang dalam menentukan prioritas pembangunan wilayahnya.
Berdasarkan karakteristik wilayah tersebut, akan sangat berat jika pemerintah memfokuskan program kerjanya pada sektor industri, sehingga perlu suatu branding position oleh pemerintah yang dapat mensejajarkan Lampung Barat dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Lampung. Terobosan penting telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat dengan memposisikan diri sebagai Kabupaten Konservasi yang memfokuskan pembangunan wilayah dengan mempertahankan kelestarian alam dan keberlanjutan pembangunan.
Wilayah konservasi merupakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan memperhatikan konservasi wilayah yang dilakukan berbasiskan kelestarian ekologis dan biodiversitas. Wilayah konservasi memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dalam proses pembangunan wilayah. Kelebihannya adalah wilayah konservasi dapat menjadi jangkar keberlanjutan dan pelestarian lingkungan serta penjaga perubahan iklim. Namun kekurangannya adalah wilayah konservasi akan kesulitan untuk mengembangkan berbagai sector pembangunan karena berbagai batasan lingkungan yang tidak bisa dialih fungsikan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Komunikasi Yes, Koalisi No
|
Agar hasil pembangunan dan perekonomian lebih seimbang antar wilayah, maka perlu dilakukan suatu mekanisme sharing antara wilayah maupun antar tingkatan pemerintah untuk mengurangi fiskal gap antar wilayah. Mekanisme sharing tersebut biasanya disebut Ecological Fiscal Transfer yang merupakan transfer fiskal antar tingkatan pemerintah maupun antar wilayah dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan indikator lingkungan. Selama ini, transfer fiskal dilakukan pemerintah pusat melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID). Namun mekanisme tersebut perlu disempurnakan dengan mengintegrasikan konsep transfer fiskal berbasis ekologis untuk menambah beberapa indikator yang selama ini sudah diakomodasi dalam perhitungan DAU.
Beberapa indikator yang sudah menjadi dasar formula perhitungan Fiscal Gap dari sisi kebutuhan fiskal atau Fiscal Need antara lain Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Indeks Kemiskinan, Indeks Kemahalan Konstruksi dan Indeks Pembangunan Manusia. Pemerintah daerah yang menjaga dan mengkonservasi lingkungan perlu diberikan insentif lebih agar kelestanan lingkungan tetap terjaga, namun disisi lain pemerintah daerah konservasi dapat lebih mendapatkan sumber pendanaan pembangunan. Beberapa indicator yang dapat digunakan sebagai formula transfer fiskal berbasis ekologis dapat mengacu pada best practice di beberapa negara lain di dunia. Indikator tersebut antara lain Luas Tutupan Lahan Terhadap Total Area Kritis, tingkat degradasi dan deforestasi hutannya sudah memprihatinkan, tingkat konservasi lingkungan serta besarnya emisi yang dapat diserap.
Agar kesenjangan antar wilayah dapat dikurangi, maka wilayah-wilayah konservasi perlu diberikan dukungan fiskal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, pelayanan kepada masyarakat, pembangunan wilayah tanpa mengganggu kelestarian ekosistem wilayahnya. Beberapa dukungan tersebut dapat berupa insentif fiskal seperti penyesuaian formula DAU sebagai dukungan terhadap wilayah konservasi maupun dukungan berbagai pembiayaan baik dari Negara donor maupun dari pihak swasta seperti dana Corporate Social Responsibility.
Isu-isu perubahan iklim yang telah menglobal dengan berbagai kesepakatan seperti Paris Agreement menjadi berkah bagi konservasi lingkungan. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pemerintah berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing pada tahun 2030.
Wilayah konservasi dapat menjadi salah satu wilayah pengurang emisi gas rumah kaca terutama dari sektor kehutanan melalui berbagai program antara lain perbaikan dan pelestarian ekosistem, jasa lingkungan dari hasil hutan non-kayu, rehabilitasi daerah aliran sungai dan hutan kota, hutan rakyat dan kemitraan dengan hutan rakyat, pengendalian kebakaran hutan, perlindungan hutan hingga pelestarian hutan tanaman. Berbagai isu perubahan iklim tersebut mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk menciptakan target ekonomi bebas emisi karbon. Dengan terbitnya Perpres NEK tersebut, pemerintah telah mengambil kebijakan berbasis pasar (market based) dalam menentukan nilai karbon.
Pemerintah menetapkan kebijakan pengurangan emisinya berdasarkan aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau carbon pricing serta perdagangan karbon atau carbon trading. Pemerintah telah menetapkan bahwa harga karbon yang diperdagangkan ditetapkan pada harga Rp 30 per kg CO2 ekuivalen atau Rp 30 ribu per ton CO2. Tentu saja kebijakan ini menjadi potensi ekonomi bagi pelestarian lingkungan terutama bagi wilayah konservasi.
Berbagai dukungan fiskal dan kebijakan pembiayaan pemerintah tersebut merupakan suatu peluang besar bagi wilayah konservasi untuk memperoleh berbagai alternative pembiayaan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di wilayah konservasi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan ekosistem.
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Penulis adalah Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Artikel ini merupakan pendapat pribadi Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Dr. Mahpud Sujai